Senin, 21 Oktober 2013

Imajinasi

Kalau ada Novel kesukaan saya di buat filmnya, saya suka misuh-misuh sendiri. Karena biasanya, hasilnya tidak seperti bayangan yang saya imajinasikan ketika membaca novelnya. Saya tidak akan pernah menyalahkan sang pembuat film karena tidak mungkin mereka membuat visualisasi dari bayangan yang ada di setiap kepala manusia, yang tentunya berbeda-beda. Namun, Hak mereka untuk membuat, dan hak saya juga untuk kecewa.

Maka dari itu, kejutan bagi saya jika ada film berdasarkan novel yang saya bisa puas dengan hasilnya. Tidak sempurna, tetapi mendekati. Dan kejutan itu datang dari film Omnibus Rectoverso, di bagian cerita “Hanya isyarat”. Sumpah mati, saya suka sekali dengan cerita “Hanya isyarat” yang ada di Novel Rectoverso karya Dewi Lestari. Dan saya tidak kecewa saat menonton filmnya, terlepas dari cerita yang sepertinya memang harus di tambah sana sini. Mungkin andil besar sang pemeran Al, Amanda Soekasah yang menjadi penyebab mengapa saya tidak kecewa. Dia tidak merusak apa yang ada dibayangan saya. Karakternya cocok.

Terlepas dari keobjektifitasan terhadap bagus tidaknya suatu film, dimana karya novel yang sungguh kamu suka dijadikan bentuk secara visual, maka emosi pun terlibat. Emosi tidak bisa tidak turut andil dalam penilaian hal itu. Entah itu saya saja atau orang lain juga. Karena ini menyangkut imajinasi, menyangkut bentuk kecil dari sesuatu yang disebut “Bahagia”, dunia milik kamu sendiri.

Saya sungguh-sungguh tidak bisa membayangkan jika Parang jati, Tokoh dalam BilanganFu karya Ayu Utami dijadikan bentuk nyata. Parang jati, imajinasi saya yang sempurna. Pun dengan Supernova karya Dewi Lestari. Untungnya, Parang Jati memiliki 12 jari. Sulit rasanya dijadikan film. Ah, saya pikir juga dulu begitu ketika membaca supernova, tapi toh tetap ada gosip akan dijadikan film juga. Yah mau bagaimana lagi. Ah tapi untungnya (sekali lagi) Parang Jati memiliki 12 Jari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar