Selasa, 19 Oktober 2010

Mawar, Melati dan Pernikahan

--> -->
Beberapa hari terakhir, saya dan seorang teman *sebut saja mawar* sedang intens membicarakan mengenai pernikahan. Bukan persiapan mengenai hal tersebut yang kami bicarakan, melainkan obrolan sok sok filosofis mengenai ketakutan kami akan pernikahan, rasa penasaran siapa yang akan menjadi suami kami, dan seperti apa kehidupan setelah pernikahan yang kami inginkan.
Obrolan tersebut mungkin muncul akibat kebiasaan ngobrol ngawur desperado tante2 yang sudah berumur 21 tahun tetapi belum juga mendapatkan temen-cowo-yang-bisa-diajak-kemana-mana. Mungkin kami sudah bosan dengan pernyataan para tetangga-tetangga “mba melati kan manis, pinter, kuliah di UI, supel, kok belum punya pacar yak?”. Bahkan anak SD cecurut pun sering berkomentar mengenai mawar “Tante, kok udah kuliah belum punya pacar?”. Jawabannya mungkin karena Kami terperangkap dengan pola pikir yang sedikit berbeda dengan para wanita lain. Kami (sekali lagi mungkin) terperangkap dengan rasionalitas otak kami yang tidak bisa melakukan sesuatu dengan ada udang dibalik batu. Terlalu banyak nonton TV series barat sepertinya. Kami lebih banyak menggunakan rasionalitas dibandingkan kerja hati sehingga kami terbiasa dengan 1000 spekulasi. Hanya menunggu seperti para putri dan tidak bisa melempar batu dari jauh. Sekali lagi paragraph ini hanya spekulasi.
Yak, jadi apa hubungannya punya temen-cowo-yang-bisa-diajak-kemana-mana dengan pernikahan? Karena Sebagian orang ada yang menikah dengan jalur tersebut, ada yang di jodohin, ada yang taaruf, dan ada yang lain. Nah, kalau misalnya bagi sebagian orang taaruf tidak memungkinkan karena masalah prinsip hidup, kalau dijodohin terlalu miris rasanya, dan ternyata tidak punya pacar juga. Lalu bagaimana caranya kami mendapatkan johan? Kami percaya bahwa jodoh ditangan tuhan, tapi bukankah kitanya juga harus berusaha? Nah yang tidak kami mengerti adalah bagaimana bentuk usahanya? Hahaha.
Yak, dan obrolan pun terus berlanjut. Random memang. Dan kali ini kami mempermasalahkan mengenai orang seperti apa yang ingin kami jadikan teman hidup. Teman saya mawar berkata “yang penting satu interest” dan kami juga sepakat “satu humor”. Kami tidak bisa membayangkan hidup dengan orang yang selera humornya beda. Rasa-rasanya kami tidak bisa berpura-pura ketawa sampai seumur hidup. Ibu saya juga memberikan petuah “yang penting kita nyaman sama dia”. Yak, saya sangat sangat sepakat dengan ibu. Namun, bukankah bersama teman juga kita bisa merasa nyaman? Yak dan itu jawaban bagi saya (maybe) bahwa tidak masalah bagi saya menikah dengan seorang teman daripada saya menikah dengan orang yang saya cinta tapi tidak nyaman. Bagi kami, cinta itu hanya sesuatu rasa akibat otak yang ditipu hormon. Namun, bagi saya yang paling penting adalah mendapatkan suami yang memiliki satu visi dengan saya dan mau berdeal dengan saya mengenai beberapa hal yang saya anggap principal.
Obrolan masih berlanjut. Masih random. So, bagaimana dengan taaruf?. Menurut saya, itu adalah cara yang paling ahsan. Namun, tidak bisa diterapkan ke semua orang. Apalagi mawar dengan segala spekulasi di otaknya. Tapi kami sepakat, bahwa kami sangat mengagumi orang-orang yang taaruf. Lalu, bagaimana dengan saya?. Saya mau saja bertaaruf tapi saya ingin dengan orang yang sudah saya kenal, misal dari kepanitiaan apalah, dibandingkan dengan orang yang sama sekali tidak mengenal saya dan tidak saya kenal*banyak maunya*. Bukan karena saya takut kecewa dan tidak sesuai harapan dengan sang pria, tetapi saya lebih takut sang pria itu yang kecewa terhadap saya. Saya yakin pasti bisa mendapatakan pria yang baik, tetapi apakah saya cukup baik untuk pria baik tersebut? (baik=relatif).
Obrolan pun terus berlanjut, dan makin random. Jadi, menikah tanpa cinta itu apakah bisa bertahan lama?. Mawar mengemukakan bahwa romantisme baru masuk ke US itu pada tahun 1900-an (lupa), jadi sebelum itu hampir semua orang dibelahan dunia menikah tanpa cinta. Mawar memberikan dua contoh, yang pertama dia mengatakan bahwa banyak orang yang menikah karena memang itu kewajiban sebagai manusia. Mempunyai anak, mengurus suami dianggap sebagai sesuatu kewajiban. Jadi mereka menunaikan itu karena memang kewajiban. Dan yang seperti ini biasanya bertahan lama. Yang kedua, seorang laki-laki yang dijodohin, tetapi karena ketidakpuasan akhirnya dia bercerai dan mencari seseorang yang dia cinta. setelah dia merasa menemukan wanita yang dia cinta, dia menikah dan lelaki terebut mendapatkan kepuasan dibandingkan dengan pernikahan pertamanya. So? Kesimpulan kami, yaitu relatif. Saya yakin ini karena males aja mikirnya.
Dari semua hal diatas, Yak mungkin kalau boleh jujur, kami agak takut dengan pernikahan. Waktu kerja praktek yang hanya beberapa bulan, teman kita bisa memperlihatkan taring aslinya dan bisa berakibat perseteruan. Lalu bagaimana dengan pernikahan yang notabenenya seumur hidup? Menurut sumber yang mawar baca, penelitian dari psikologi mengatakan bahwa pada tahun ke-4 pernikahan biasanya mulai terjadi penurunan ketertarikan. Istilahnya yah roti perancis berubah menjadi risol. Lalu bagaimana dengan pernikahan yang sekali lagi seumur hidup?. Mungkin ketakutan ini juga akibat skeptisme terhadap fenomena salah didik, dan tentunya internet yang sudah seperti nasi bagi kebanyakan orang. Yang jelas, obrolan kami memang sangat sangat ngawur. Saya tidak tahu apakah wanita pada umumnya memang memikirkan hal tersebut seperti kami atau tidak. Intinya, yang saya inginkan adalah pendapat dari orang2 yang memiliki pola pikir yang berbeda dengan kami, atau jangan2 semua orang berpendapat sama. Toh memang ada kan orang2 yang berhasil mendaptakan pernikahan yang dianggap semua orang baik dan berhasil mendidik anak mereka. Sekali lagi, Who knows? Hahaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar